Dinikahi Bocah Tengil Part 3

“Aida? Aryo mana? Ga makan sekalian?” Mama yang menemani papa di ruang tamu menatap heran.

“Katanya ga lapar, Ma!” Aku menjawab pelan dan ingin segera ke ruang makan.

 

Mama menahan, perempuan sabar itu mendekat.

“Kamu belum bisa menerima dia, ya?” Mama mencari jawaban di mataku.

 

Aku tersenyum getir. Lalu mengembuskan napas.

 

“Da! Kita tidak bisa menolak takdir. Berusahalah menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. Banyak kok di luar sana orang menikah tanpa cinta, tapi bisa bertahan sampai maut memisahkan.” Wejangan mama memang benar.

 

Namun, sampai saat ini, aku masih syock dengan kejadian yang menimpa. Dalam hitungan jam, dari seorang gadis, aku langsung jadi istri seorang remaja yang baru saja lulus SMA.

 

Padahal aku ingin sekali menikah dengan laki-laki yang lebih dewasa dariku.

 

“Aku makan dulu, Ma!” Kucoba mengalihkan perhatian mama.

“Seorang istri, harus memperhatikan perut suaminya. Melayaninya, dan tentu saja harus menjadi penguat langkahnya. Mama tahu, kamu tidak mencintai Aryo. Tetapi mama yakin, dia akan menjadi suami yang bisa dibanggakan.”

 

Keyakinan mama membuatku harus berpikir ulang untuk minta pisah dari Aryo. Mata itu seakan tahu bagaimana sesungguhnya kepribadian menantunya.

 

“Belajarlah menerima Aryo, Da! Pernikahan kalian halal.” Mama mendekat saat aku sedang mengambil nasi.

 

“Maksud, Mama? Aida ga paham.”

 

Mama menuang air ke gelas, lalu meminumnya pelan.

 

“Aryo sanggup menikahi kamu, dan dia sendiri yang membelikan maharnya untuk kamu. Sebelum kalian kami izinkan menikah tadi. Mama dan papa sudah berbincang dengan mertuamu, dan juga Aryo. Jika dia tidak bisa memenuhi hal di atas, rencananya papa kamu akan menolak. Biarlah malu kita tanggung.” Mama memberi senyum.

 

Aku semakin bingung dengan kalimat yang dilontarkan mama dengan nada sangat serius.

 

“Kamu tahu, siapa suamimu? Mungkin karena semalam gelap, jadi kamu tidak melihat jelas wajahnya. Setelah menikah pun, karena merasa dia anak kecil, kamu tidak memperhatikan dia dengan seksama.” Mama tertawa pendek.


Aku yang hendak mengambil lauk dari piring menghentikan tangan, lalu menatap mama dengan penuh tanda tanya.

“Sebelumnya, mama sudah bertanya, kenapa semua bisa terjadi. Aryo menjelaskan dengan rinci, sama seperti penjelasanmu. Satu hal yang membuat mama menyukainya karena dia bertanggung jawab, padahal itu hanya musibah yang tidak kalian harapkan.”

 

Ya! Itu musibah yang akan selalu kuingat sepanjang hayat.

 

“Dia ingin menjaga harga dirimu, setelah kejadian itu difoto oleh beberapa orang warga yang datang menggerebek kalian. Kamu tahu apa yang dia ucapkan saat memintamu jadi istrinya. Tolong nikahkan aku dengan putri bapak, karena aku tidak mau namanya menjadi hancur hanya kejadian yang tidak sengaja menimpa kami. Aku akan mengangkat derajatnya dengan pernikahan, percayalah, aku sanggup menafkahi Mba Aida, walaupun baru tamat SMA.” Mata mama berkaca-kaca, sepertinya dia benar-benar terharu.

 

“Kamu tahu, setelah mengatakan hal itu. Dia memperlihatkan pekerjaannya yang mungkin tidak akan kamu percayai. Tentang janji papa memberi pekerjaan untuknya itu, hanya untuk meyakinkan kamu kalau dia pantas menjadi suami.”

 

Keningku semakin berkerut, siapa Aryo sebenarnya, apa pekerjaannya?

 

“Aryo seorang Youtuber, juga penulis di sebuah aplikasi. Penghasilannya sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup kalian berdua.” Mama meyakinkan.

 

Aku yang merasa tertipu.

 

“Mama tau, ga? Mana tahu dia ingin menaikkan popularitasnya dengan menikahi aku. Bisa jadi dia tidak tulus ingin menjadi suamiku, tetapi ini hanya modus.”

 

Segera kutinggalkan meja makan, dan berlari ke kamar. Aryo harus menjelaskan semuanya padaku. Aku yakin, ini semua sudah dia rencanakan. Dia pasti menjebakku untuk dijadikan konten dan bahan untuk dia meraup keuntungan sendiri.

 

“Bawakan suamimu makanan!” Mama menahan langkahku.

 

“Nanti aja, Ma! Aku mau ajak dia makan bareng!”

Alasan sesungguhnya bukan itu, Ma! Tapi aku harus berbohong, semua semakin membuatku seakan tidak berpijak di bumi lagi.

 

**

“Shadaqallahul Adzim.” Aryo segera meletakkan Alquran di nakas dekat tempat tidur.

 

Aku yang awalnya dibakar emosi, perlahan padam bagai disiram air seember setelah melihat dia mengaji.

 

“Ada apa, Mba? Ga jadi makan?” Dia berdiri sambil merapikan kain sarung yang menutupi tubuh bagian bawahnya.

 

Aku mendekat dengan wajah dingin, lalu duduk di kursi rias sambil menatap lurus wajahnya yang terlihat bersinar. Mungkin karena pancaran cahaya lampu aja, bukan karena dia sholeh.

 

“Kamu menjebak aku?” Tuduhan itu langsung membuat dia terdiam.

 

Aku mendengar desahan napasnya sebelum duduk di ranjang sambil membalas tatapanku yang semakin tajam.

 

“Untuk apa?”

 

“Untuk menaikan nama kamu? Bukankah dengan menikahi perempuan yang usianya lebih tua dari kamu, kanal Youtube milikmu akan semakin melejit.”

Dia menunduk dalam, kemudian memandang kembali padaku yang gemetar.

 

“Mba! Aku tidak sejahat itu! Sekarang itu, Mba sudah menjadi istriku, aku yang seharusnya menjaga kehormatan, Mba! Bukan menjual Mba untuk mendapatkan uang. Terlalu naif, jika aku melakukan semuanya.” Dia mengusap wajah yang berkeringat.

 

“Kenapa tidak kamu beri tahu dari awal tentang pekerjaanmu?” Aku menekankan suara.

 

“Mba! Gimana mau cerita, orang kejadiannya melebihi kecepatan kereta listrik. Rencana, setelah kita bisa saling menerima, aku akan ceritakan semuanya. Tapi, apa daya. Mba selalu marah-marah padaku. Ya, aku kan kehilangan momen untuk berbicara banyak hal.”

 

Benar, kami memang belum sempat berbicara tentang siapa dan apa yang menjadi kegiatan sebelum menikah. Belum tahu apa yang disukai dan tidak. Belum kenal secara menyeluruh, jadi Aryo memang tidak salah.

 

“Okey! Tolong jelaskan padaku dengan jujur, kenapa kamu mau menikah dengan perempuan yang usianya jauh lebih dewasa dari kamu? Bukankah kamu memiliki banyak pengikut, banyak yang menyukai konten kamu. Kenapa kamu memilih aku? Apa karena kamu kasihan padaku?” Dadaku terasa sesak bertanya seperti itu dengan suara keras.

 

Dia tertawa pelan, sepertinya tidak peduli dengan perasaanku yang sedang menahan sesak dalam dada.

 

“Mba! Kamu harus percaya pada takdir, Allah menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Begitu juga dengan semua yang ada di muka bumi. Aku sudah istiqarah sebelum meminta Mba pada papa dan mama. Ternyata, memang Mba yang ditakdirkan Tuhan melintas dalam kepala setelah berdoa panjang. Kalaupun ingin mengelak, sebenarnya aku bisa melakukan hal tersebut, karena kita tidak melakukan apa-apa waktu itu. Tetapi, ya, sudahlah! Aku akan tetap berusaha jadi suami yang baik. Walau Mba belum bisa menerimaku sebagai seorang suami.”

 

Tamparan demi tamparan membuatku semakin tidak berdaya menatap matanya. Kenapa dia begitu dewasa? Haruskah aku melakukan apa yang tadi disampaikan mama?

 

“Mba, Rasullulllah saja, beda jauh usianya dengan Umi Khadijah. Tetapi beliau bisa saling melengkapi, bahkan menjadi tauladan bagi umat manusia.” Dia mulai memberi wejangan.

 

“Tapi aku bukan beliau yang baik dan sholeha. Yang bisa menjaga lisan dan perbuatan, yang bisa diteladani. Aku hanya perempuan yang sampai saat ini tidak mengerti kenapa tiba-tiba bersuamikan ….!”

 

Asataga, kenapa semua mengalir deras tanpa hambatan. Aku menutup wajah, mataku memanas.

 

“Bersuamikan bocah? Mba meragukan aku? Atau aku yang harus ragu pada Mba? Bisa jadi selama ini Mba menutup diri dari laki-laki karena sudah tidak layak pakai.” Sinis dan menyakitkan.

 

“Aryo!” Tangisku tumpah. Dia sangat berani menuduhku seperti itu. Aku tidak terima! Aku harus membuat perhitungan.

 

“Maksud kamu apa bicara seperti itu!”

Suaraku mengalahkan gelegar halilintar di kala hujan.

 

Dia tersenyum sinis. Lalu meletakkan tangan di kasur.

 

“Kamu kira aku tidak perawan lagi, begitu? Dengar ya, Aryo! Aku tidak pernah melakukan hal yang akan mengantarkanku ke neraka jahanam. Oleh karena itu aku menutup diri dari laki-laki yang mungkin hanya sekadar untuk mendekati, tetapi tidak mau menikah. Di luar sana, banyak lelaki seperti itu. Dengan dalih cinta, dalih sayang, lalu meminta yang bukan haknya. Lalu, seorang perempuan yang sudah termakan bujuk rayu setan atas dasar kalimat saling mencintai, mau menyerahkan kehormatannya! Kamu salah besar!”

 

Dadaku naik turun menahan emosi yang sudah menggelegak. Tapi, Aryo tetap tenang, dia seakan membiarkan aku berada dalam pusaran emosi yang menghabiskan tenaga.

 

“Baguslah, kalau Mba tahu tentang itu! Berarti aku harus bersyukur belum ada yang menyentuh kulit Mba selain papa, dan orang-orang yang muhrim dengan Mba.” Datar dan lirih.

 

Aku segera berdiri dan mendekat.

 

“Lalu kenapa kamu mengatakan kalau aku tidak layak pakai?”

Ingin rasanya kutarik baju kaus yang melekat ke tubuhnya, lalu kedorong ke dinding. Biar pecah kepalanya, atau hancur tulang belulangnya.

 

“Karena, Mba tidak yakin padaku. Aku bisa lebih jahat, jika Mba terus seperti ini!” Dia menatap tajam kepadaku.

 

Aku mendesah berkali-kali membuang sesak dalam dada. Melihat Aryo setenag air dalam lubuk dalam, aku jadi berpikir panjang. Kenapa emosiku bisa tidak terkendali seperti ini? Padahal usiaku lebih dewasa darinya.

 

“Tapi, kenapa kamu mau menikahi aku?” ulangku dengan bibir bergetar.

 

“Karena aku yakin, Mba adalah takdirku yang dipilihkan Tuhan. Itu jawabnya! Aku akan berusaha menjadi suami yang baik, walau usia kita beda jauh. Kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dengan umur, Mba! Buktinya, Mba yang lebih dewasa, malah bersikap seperti anak kecil.”

 

Kembali dia merendahkanku.

Kesabaranku menipis, bahkan mungkin lebih tipis dari selembar benang.

Segera kudekati tubuhnya dengan tergesa-gesa, kutarik bajunya. Lalu kutatap tajam bola matanya yang hitam pekat.

 

Alisnya yang tebal terangkat seperti meremehkan, begitu juga dengan mulutnya yang membentuk garis kecil nan sinis.

 

“Mba ga akan bisa berbuat kasar padaku, jika Mba ingat status aku apa?” Suaranya tetap tenang.

 

Segera kupukul dadanya, lalu rasa iba mendera. Aku menangis kencang, dia merangkul pundakku ke dadanya. Dengan lembut, dia menenggelamkan kepalaku ke sana.

 

“Menangislah, jika memang itu bisa meredakan emosi, Mba! Aku hanya inginkan satu hal, belajarlah mencintaiku, menghormati pasangan, dan menjadikan aku sebagai partner dalam menghadapi langkah ke depan. Karena apa yang Mba lakukan, tentu akan berbalas.”

 

Dia terlalu dewasa, dia terlalu pintar merangkai kata. Sehingga tangisku semakin deras dan membajiri dadanya.

 

Cukup lama aku berada dalam pelukkannya yang hangat, tanpa getaran apa-apa dalam dada. Yang kurasa hanya kedamaian, walau kuyakin ini bukan cinta.

 

“Kalau sudah tenang, kita cari makan ke luar, yuk!” Dia menarik pundakku. Lalu menghapus air yang mengalir di wajah dengan telapak tangannya.

 

“Sebenarnya, aku lebih suka kalau Mba sinis seperti kemarin. Liar-liar merpati, itu yang membuat aku suka.”

 

“Maksud kamu?” Aku bertanya pelan.

 

“Karakter perempuan seperti Mba, hanya keras di luar. Tapi di dalamnya sangat rapuh. Biasanya orang seperti itu sangat penyayang dan perhatian. Dan tentu saja sangat melindungi orang-orang terdekatnya. Aku yakin, satu saat Mba akan jatuh cinta padaku.”

 

Jatuh cinta?

Dia kira gampang kali ya? Tapi, bukankah Allah maha kuasa membolak-balikkan hati manusia. Aku tidak boleh takabur. Bisa jadi nanti apa yang dia katakan benar.

 

“Sekarang, Mba sudah puas dengan jawabannya. Aku tambahin, aku tidak akan menjual konten tentang pernikahan kita, tetapi jika ada yang mengangkat isunya di dunia maya, Mba harus sabar. Karena pasti setelah ini, apa yang Mba khawatirkan memang akan terjadi. Namun, satu hal yang ingin aku sampaikan, Insya Allah, ini pernikahan pertama dan terakhir bagiku. Percayalah!” Dia mengedipkan mata, aku kaget. Jangan-jangan ini caranya meminta dilayani.

 

Aku menggeleng cepat, dan mundur beberapa langkah.

“Kalau belum siap sekarang, seminggu atau sebulan lagi, aku akan menunggu, kok, Mba! Sekarang kita nikmati masa pacaran dulu. Selain ibadah, tentu saja pacaran setelah nikah itu tidak berdosa. Bolehkan aku menyatakan, I Love You?”

 

Asataga!

Ini bocah disangkanya aku anak seumuran dia kali, ya? Pakai acara nembak segala! Kalau begini, aku bakalan muda terus.

 

“Mba, jawab dong!”

 

“Jawab apa?”

“Kamu mau ga, jadi pacar aku?”

 

“Pacar gimana, orang aku sudah jadi istri kamu?” Mataku melebar saat menjawab.

 

“Kan, belum terealisasi, Mba! Orang Mba ga mau main di ranjang.”

 

Wajahku memereah, ketika dia dengan polos meminta aku segera menjadi landasan pacunya.

 

“Aku lapar, tadi mama melarang aku makan sendiri.” Suara itu bergetar menghilangkan gugup yang menguasai jiwa dan raga.

 

“Kalau begitu, kita makan dulu. Baru santai di pantai.”

 

“Ke pantai? Malam-malam begini?”

 

Dia tertawa renyah, lalu menjawab pelan. “ Anggap saja kamar kita ini pantai, Mba. Dan kamu rembulannya, biar aku bisa menatapnya lama-lama!”

 

Tolong kuatkan jantung ini, Tuhan! Jika setiap hari digombali, aku yakin kepalaku bisa meledak.

 

**

 

“Kalian ga jadi makan?” Mama segera menghampiri ketika aku dan Aryo keluar kamar.

 

“Ini mau makan, Ma!” Aku menjawab, Aryo hanya memberi senyum.

 

Mama terlihat sangat lega, kemudian memberi tahu, kalau papa sudah makan. Jadi kami hanya makan berdua.

 

“Makasih ya, Ma! Sudah menerima aku jadi menantu,” ucap Aryo sopan.

 

Mama yang berdiri di sampingku, segera membelai lenganku pelan.

 

“Mama dan papa juga berterima kasih, kamu sudah menutupi aib keluarga ini.”

 

“Aib apa, sih, Ma? Aku dan Aryo ga ngapa-ngapain kemarin malam. Hanya sedang tidak beruntung saja.”

 

“Kalau menurut mama, malah musibah membawa keberuntungan. Kapan lagi bisa memiliki menantu orang terkenal.” Mama mengedipkan matanya, kemudian menyuruh kami segera makan malam. Karena sebenarnya memang tidak baik jika perut berisi makanan berat setelah lewat jam lima sore.

 

**

“Mama hebat, ya, Mba!” Aryo berucap setelah menelan beberapa suap nasi dari piringnya.

 

“Hebat kenapa?”

 

“Masakannya lezat. Bukan membandingkan dengan ibu, sih! Soalnya kalau di rumah, memang kami jarang masak masakan ibu.”

 

“Kok, bisa gitu.”

 

“Aku yang melarang ibu masak. Kasihan beliau nanti capek. Lagian aku sudah bekerja, ayah juga, jadi biar ibu menikmati hari-harinya dengan santai dan kegiatan positif lainnya. Sekarang beliau sibuk ngurus komunitas sedekahnya. Jadi, jarang masak. Tetapi, kalau lagi pengen banget masak, biasanya mama masak banyak sekali. Lalu dibungkus dan dibagi-bagikan ke tetangga yang membutuhkan.”

 

Ya, Rabb.

Ternyata mertua yang kemarin kusalami adalah orang baik? Mereka orang berada yang sangat sederhana. Aku jadi malu pada diri sendiri yang terlalu perhitungan untuk sedekah.

 

“Mba ga makan?” Dia bertanya setelahnya.

 

“Nanti aja, belum terlalu lapar.”

 

“Tadi katanya lapar, apa jangan-jangan kenyang karena dipeluk tadi?”

 

Erornya kambuh! Mulai lagi menggoda secara tidak langsung, tapi ngena banget di ulu hati.

 

“Ga, lah! Tadi kan udah minum air putih.”

 

“Air putih itu ga akan membuat kenyang, Mba Aida sayang!”

 

Uluh! Udah berani saja ini bocah memanggil pakai sayang.

 

Dia menarik napas, lalu menggeser kursi ke dekatku.

 

“Salah satu agar rumah tangga itu berkah dan bahagia adalah dengan memanjakan pasangannya, Mba. Jadi izinkan aku menyuapimu makan. Selain itu juga, menyuapi istri itu besar pahalanya. Aku ingin setiap waktu melayani kamu, Mba. Karena membuat kamu tersenyum itu ternyata berat.”

 

Dasar muka artis.

Di mana saja berusaha merayu. Aku menolak dengan menggeleng.

 

“Ayolah, Mba! Nanti kamu akan terbiasa. Jika aku tidak makan bareng kamu, pasti merasa ada yang kurang.”

 

“Kalau ga ada sayur, baru kurang, empat sehatnya.” Aku menjawab datar.

 

“Iya, sih! Tapi, aku ingin sekali menyuapi kamu, Mba. Selama ini hanya nonton drama di tivi doang! Jadi pengen merasakan yang sebenarnya. Boleh, ya?”

 

Menolak, sama saja akan terus didesak. Aku akhirnya mengangguk.

Aryo segera menyuapi dengan tatapan sayu. Kemudian menghapus sisa makanan yang neympil di bibir. Dadaku langsung berdebar saat jarinya menyentuh kulit halus tersebut.

 

“Duh, Mba! Dadaku bagai dihantam badai saat menyentuh bibir kamu. Tapi, nikmat.”

 

Aku membelalak, dia tertawa lirih.

 

“Nikmati aja, Mba! Semakin sering berinteraksi, akan semakin cepat rasa itu tumbuh.”

 

“Itu, sih, maunya kamu!”

 

“Memang Mba ga mau gitu, jatuh cinta? Kata orang tua, jatuh cinta itu berjuta rasanya lho, Mba! Lebih memabukkan dari alkohol.”

 

“Duh, Aryo! Pleas, deh! Ga usah lebay!” Aku memberungut.

 

Dia menatapku tajam.

“Mba, berdua dan bermesraan gini, merupakan terapi jiwa agar selalu bugar dan sehat. Jadi nanti hormon kita meningkat, kemudian kita ibadah dalam hangatnya cinta. Setelah itu, benih yang kutanam tumbuh sempurna di sana. Gitu!”

 

Aku terbatuk, kikuk ketika mendengar keterangannya yang panjang lebar.

 

“Mba oke?”

 

“Aku tak apa, hanya kaget saja mendengar pemaparan tadi.”

 

Tersenyum dan tertawa pelan. Sepertinya memang karakter dia sangat humoris dan luwes. Jadi apa pun yang dihadapi selalu dibawa bercanda, walau sebenarnya sangat serius.

“Salah satu tujuan menikah, adalah punya keturunan, Mba! Selain untuk menangkan diri dan merasakan kenyamanan. Rumah tangga itu laksana surga dunia, Mba! Tapi tergantung pada istrinya, kalau istrinya marah-marah terus, surga itu bakal berubah jadi neraka. Sebab perempuan itu dikatakan ibu rumah tangga, ya, untuk membuat keluarganya merasa tenang jika berada di dekatnya.”

 

Aku mendehem. Lalu menghembuskan napas berat.

 

“Sebelum tamat SMA, kamu sekolah di mana, sih? Sudah kek ustadz saja ketika bicara.”

 

“Belajar dari orang tua, Mba! Ayah selalu memuliakan ibu, dan ibu pun sangat menghormati ayah. Setiap hari selalu mesra, bahkan ibu tidak akan makan jika tidak disuapi ayah. Begitu!”

 

Berarti dia tumbuh dari keharmonisan orang tuanya. Sehingga dia ingin sekali memanjakan dan meniru kehidupan keluarganya yang mungkin sangat bahagia. Benar-benar tidak menyangka, aku menikah dengan lelaki belia yang berpengetahuan luar biasa. Seharusnya ku bersyukur, bukan malah menolak takdir.

 

“Kalau Mba mau tidur duluan ga apa!” Aryo menyuruh ketika kami sudah kembali ke kamar.

 

Aku tertegun.

“Baiklah, makasih, ya!”

 

“Makasih untuk apa? Belum juga dicoba, Mba!” Kembali seloroh garing mengalir dari bibirnya yang tipis.

 

Lelaki belia berhidung bangir itu mengalihkan wajah, ketika mataku membesar seperti biji semangka. Eh, itu mah sipit, kan, yak? Berarti biji nangka aja, deh!

 

“Makasih, sudah pengertian! Bukan kenapa-napa sebenarnya. Aku memang belum siap aja. Semua ini berasa mimpi.” Aku mengembuskan napas, lalu duduk di ranjang pengantin yang tidak ada hiasan apa pun.

 

Namanya juga nikah dadakan. Jadi, ya, serba lama. Tapi, tadi seprainya sudah diganti sama mama. Karena aku sudah siap-siap untuk segera nikah.

 

Debar di dada belum reda. Setiap kali Aryo bergerak, aku seakan berada di ujung geladak kapal. Oleng.

 

 

“Aku mau izin membuka HP dulu, ya, Mba! Mau kirim konten ke kanal you tube!”

 

Minta izin?

Aduh, semuanya seakan butuh persetujuan dariku. Maka bertambahlah wewenangku di kamar ini.

 

“Asal jangan tentang hubungan kita!”

 

“Seharusnya memang tentang kita, Mba! Biar nanti tidak ada lagi yang menggodaku, karena sudah beristri. Tetapi, jika Mba Aida keberatan, tak apa. Aku mah lebih senang, sudah beristri, tapi status masih bujangan.”

 

What?

Semena-mena pula dia berkata! Tapi, ada benarnya juga. Jika nanti ada yang mengganggu dia gimana? Apa aku mulai merasa kalau dia milikku?

 

“Aku ga ngerti!” Pura-pura bodoh, cara yang tepat untuk membuang gelisah.

 

 

“Mba, aku publik figure. Kalau ga percaya, buka aja you tube dan Instagram aku. Nanti Mba akan liat siapa sebenarnya suami Mba ini!”

 

Mulai sombong, nih, bocah!

Aku mana kenal yang namanya Instagram dan youtube. Orang setiap hari hanya makai FB, itu pun sekedar melihat-lihat postingan teman. Aku sendiri jarang posting.

 

Hati kecilku seharusnya senang, ternyata Aryo masih menghargaiku sebagai seorang istri.

 

“Ga jadi tidur?” Dia bertanya setelah sekian lama aku duduk berjuntai di tempat tidur. Bingung juga mau ngapain.

 

“Ini juga mau tidur!”

 

Aku segera berbaring dan tidur di bagian dekat dinding. Menutup tubuh dengan selimut. Sayangnya, mata enggan terlelap. Masih bingung dengan perasaan sendiri. Banyak hal yang memenuhi ruang kepala saat ini.

Entah sudah jam berapa saat Aryo naik ke tempat tidur. Aku merasakan kalau dia sudah berada di belakangku. Tetapi tidak berbaring.

 

Lamat-lamat kudengar dia berbicara sendiri. Eh, ternyata dia berdoa.

 

“Ya, Allah. Aku ridho pasa istriku. Jadikan dia penyejuk mataku, menjadi tempat aku berlabuh dan menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak. Ya, Allah. Tolong membuatkan hatinya agar mau menerimaku jadi pendamping hidupnya. Walau aku tahu, usiaku terlalu kecil untuk dipanggil suami.”

 

Dadaku sesak saat dia mengucapkan doa tersebut. Ada haru, ada ucapan lucu yang menggelitik.

 

“Maafkan aku, Yo! Maafkan aku,” ucapku dalam hati.

 

Cukup lama dia duduk dengan bersandar di tempat tidur. Lalu kurasakan tubuhnya merapat. Dan tiba-tiba tangannya melingkar di perut, erat sekali.

 

Jantungku sudah berdegup kencang. Tapi, tetap kutahan. Takut dia tahu, kalau aku belum tidur.

 

“Maafkan aku, Mba! Aku hanya ingin jadi selimut bagimu. Kalau nanti kamu terbangun, aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada di sampingmu.”

 

Aku menggigit bibir agar tidak tertawa mendengar kalimat puitis barusan. Walau geli dan risih aku tetap diam dengan mengempiskan perut. Membiarkan tangan itu melingkari tubuh. Walau sebenarnya semakin membuat mata enggan tidur.

***

Suka Novel Ini? Mau Baca PART Selanjutnya Sampai Tamat? Download Aplikasi SuaraOne di Play Store GRATIS Dengan Klik Tombol INSTAL Di Bawah Ini



Selamat Membaca

Postingan Terbaru